Carding adalah suatu bentuk
kejahatan yang menggunakan kartu kredit orang lain untuk dibelanjakan tanpa
sepengetahuan pemiliknya. Perkembangan kasus carding di Indonesia bergerak
sangat cepat. Menurut hasil riset terkini yang dilakukan perusahaan sekuriti
Clearcommerce yang berbasis di Texas, menyatakan bahwa Indonesia berada di
urutan pertama negara asal pelaku cyber fraud. Ditambahkan pula, bahwa sekitar
20 % total transaksi kartu kredit dari Indonesia
melalui internet adalah cyber fraud. Oleh sebab itu diperlukan pengetahuan yang
cukup untuk mendalami permasalahan kejahatan kartu kredit ini bagi masyarakat
serta penegakan hukum yang dilakukan oleh aparat hukum.
Kata kunci : Carding, Kartu Kredit, Internet, Cyber Fraud
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perkembangan teknologi yang saat ini mempengaruhi kehidupan
masyarakat global adalah teknologi informasi berupa internet. Internet pada
mulanya hanya dikembangkan untuk kepentingan militer, riset dan pendidikan,
terus berkembang memasuki seluruh aspek kehidupan umat manusia. Saat ini,
internet membentuk masyarakat dengan kebudayaan baru. Masyarakat tak lagi
dihalangi oleh batas-batas teritorial antara negara. Masyarakat baru dengan kebebasan beraktivitas dan berkreasi yang paling
sempurna. Namun, di balik kegemerlapan itu internet juga melahirkan
keresahan-keresahan baru, di antaranya muncul kejahatan yang lebih canggih
dalam bentuk cyber crime.
Perkembangan teknologi informasi telah
mengubah cara pandang sebagian pelaku ekonomi dalam beraktivitas, khususnya
dalam dunia bisnis. Sistem teknologi informasi tidak hanya berfungsi sebagai
sarana pendukung meningkatkan kinerja perusahaan, tetapi lebih jauh lagi telah
menjadi senjata untuk mengambil keuntungan secara cepat dengan jalan ilegal,
khususnya menggunakan internet.
Kejahatan menggunakan fasilitas internet
berkembang pesat di Indonesia, sementara masih terdapat celah pada sistem hukum
dan lemahnya sistem pengawasan atas kejahatan ini. Kejahatan
tersebut, salah satunya adalah credit
card fraudulent di internet atau lebih populer disebut carding. Carding adalah
suatu bentuk kejahatan yang menggunakan kartu kredit orang lain untuk
dibelanjakan tanpa sepengetahuan pemiliknya.
Perkembangan kasus carding
di Indonesia bergerak sangat cepat. Bahkan
dinyatakan bahwa Indonesia berada di urutan pertama
negara asal pelaku Cyber fraud. Ditambahkan pula, bahwa sekitar 20 persen
total transaksi kartu kredit dari Indonesia melalui internet adalah Cyber fraud.
Kejahatan carding ini murni kejahatan lintas-negara (trans-national crime). Saat penanganannya, timbul kesulitan ketika
banyak warga negara asing yang menjadi korban carding harus datang ke Indonesia untuk melaporkan dan memberikan
keterangan kejadian yang dialaminya. Kesulitan bagi pelapor warga negara asing
ini karena ia harus mengeluarkan dana yang tidak sedikit untuk terus-menerus ke
Indonesia berkaitan penyidikan kasusnya. Hal inilah, yang mengakibatkan
banyaknya kasus-kasus carding terjadi.
RUMUSAN
MASALAH
Berdasarkan latar belakang
yang sudah dijelaskan diatas, maka riset ini merumuskan permasalahan sebagai
berikut :
- Bagaimana aspek hukum tentang kejahatan kartu kredit (carding)?
- Bagaimanakah penegakkan hukum terhadap kejahatan kartu kredit di Indonesia?
HASIL
PENELITIAN DAN ANALISIS
5.1. Aspek
Hukum Kejahatan Kartu Kredit
5.1.1.
Kejahatan Kartu
Kredit Adalah Kejahatan Bisnis Dalam Transaksi Konvensional dan Maya
Sudut pandang dalam mengkaji permasalahan dengan
mengasumsikan adanya berbagai perubahan akibat dunia yang semakin global dan
tanpa batas (globalized and borderless
world) berarti tidak terpaut adanya jarak, ruang dan waktu, maka dapat
dianggap pula semakin tidak terbatasnya kemungkinan perubahan dalam bidang
teknologi, politik, ekonomi dan informasi-informasi lain.
Salah satunya, perkembangan teknologi dengan
berbagai bentuk kecanggihan informasi, komunikasi dan transportasi membuat
modus kejahatan semakin marak dilakukan oleh pelaku-pelaku kejahatan, di
antaranya dengan menggunakan kartu kredit.
Modus dalam kejahatan kartu kredit merupakan salah
satu bentuk kejahatan bisnis. Memahami makna dari kejahatan bisnis perlu
kiranya untuk mencermati perkembangan yang terjadi dalam praktik bisnis dengan
berbagai modus di antaranya adalah dalam bidang kompertisi yang dikenal dengan unfair competion berupa tindakan tying contract, exclusive dealing, price
discrimination, price fixing,
penggabungan perusahaan, false
advertising (penipuan iklan) dan kejahatan lingkungan hidup (environmental crime).
Banyak faktor yang harus dipertimbangkan dalam
membahas tentang kejahatan, sehingga menimbulkan berbagai perspektif yang
berbeda. Kejahatan tidak dapat dibicarakan dengan memfokuskan pada 1 (satu)
permasalahan saja yang menjadi sebabnya, karena kejahatan merupakan peristiwa
yang mempunyai faktor multidimensi yang menjadi penyebabnya dan mempunyai
pengertian yang relatif.
Berbicara mengenai kejahatan dan penjahat, saya berkesimpulan bahwa kejahatan
mengandung konotasi tertentu, merupakan suatu pengertian dan penamaan yang
relatif, mengandung variabilitas dan dinamika serta bertalian dengan perbuatan
atau tingkah laku (baik aktif maupun pasif), yang dinilai oleh sebagian
mayoritas atau minoritas masyarakat sebagai suatu perbuatan yang anti sosial,
suatu perkosaan terhadap skala nilai sosial dan atau perasaan hukum yang hidup
dalam masyarakat sesuai dengan ruang dan waktu."
Kejahatan merupakan perbuatan antisosial. tidak hanya terdapat pada
masyarakat yang sedang berkembang, tetapi ada juga dalam masyarakat yang sudah
maju (dengan peralatan teknologi yang lebih canggih). Kejahatan tidak hanya di
dunia nyata (real), tetapi ada juga
di dunia maya (virtual) dengan bentuk
yang berbeda dengan wajah kejahatan yang konvensional karena telah diperhalus
sedemikian rupa. Keberadaan suatu kejahatan identik dengan keberadaan manusia
itu sendiri, meskipun ada kemungkinan bentuk atau tipe kejahatan dari tiap-tiap
masyarakat berbeda.
Perluasan pengertian kejahatan bisnis merupakan suatu kebutuhan bagi
praktik bisnis, sebagaimana diutarakan oleh Soedjono Dirdjosisworo, dalam
meminimalisir berbagai modus kejahatan bisnis, pertama untuk memahami kejahatan
bisnis dan tempat kecurangan serta tuntutan pidana lebih penuh, kedua membangun
metode yang ditingkatan dan lembaga-lembaga untuk prevensi serta pengelolaannya.
Untuk memahami lebih lanjut tentang kejahatan bisnis, perlu
mengetahui lebih lanjut tentang definisi dari kejahatan bisnis. Pertama adalah
kelakuan tidak senonoh atau perbuatan jahat yang terjadi dalam lingkungan
bisnis, dan kejahatan bisnis ini terjadi dalam kegiatan bisnis yang legal. Contoh
yang dipaparkan oleh Soedjono Dirdjosisworo, salah satunya berupa penawaran
kredit oleh pelaku bisnis terhadap perusahaan yang membutuhkan bantuan keuangan
dan keuangan dan kemudian mengambil alih manajemen dari perusahaan tersebut.
Yang menjadi persoalan dalam kejahatan bisnis adalah sejauh mana konteks bisnis
ini menyusun peluang-peluang bagi perbuatan jahat dan bagaimana cara menangani
perbuatan jahat dan tidak senonoh ini. Kedua, adalah disediakannya kesempatan
legal untuk eksploitasi dan konsekuensi kunci pokok mengenai ini adalah dapat
diperbandingkannya delik tersebut. Dua hal yang dapat disimpulkan untuk menarik
definisi tentang kejahatan bisnis adalah, pertama perbuatan tidak senonoh atau
yang jahat terjadi dalam lingkungan yang sah, dan kedua adalah lingkungan itu
menyediakan kejahatan bisnis dan ciri yang dapat dipertandingkan.
Kejahatan bisnis yang semakin bersifat global, tetap dibatasi oleh
hal-hal sebagai berikut :
Pertama, walaupun
kejahatan berkembang semakin memancanegara, dan kompleks. tetapi sesungguhnya tetap memiliki unsur “otak
kejahatan” atau disebut pula “actor
intellectualis”.
Kedua, perihal perubahan
makna modus operandi (cara) dan locus operandi (tempat) dan bahkan tempus
operandi (saat), pada kejahatan yang sudah terpengaruh oleh iklim global. Makna dari cara, tempat dan saat kejahatan
global dilangsungkan, telah amat berbeda dengan makna pada kejahatan konvensional biasa.
Ketiga, dalam alur terciptanya masalah sosial,
kejahatan hampir selalu berada di titik ujung. Dengan kata lain, sebagian besar
kejahatan, termasuk kejahatan kontemporer, lahir dari posisi sebagai resultan
belaka yang akan hilang bila kasusnya berubah. Dimana-mana memang terdapat
bukti mengenai hubungan antara peningkatan pendapatan dengan munculnya “zona
ketidakstabilan masyarakat”, yang salah satu impulsnya adalah kejahatan.
5.1.2. Kejahatan Kartu Kredit dalam Transaksi Konvensional (Off
Line)
Sebelum memaparkan berbagai bentuk kejahatan kartu
kredit, sebagai awal pembahasan dikemukakan terlebih dahulu berbagai kejahatan
karu kredit yang terjadi di Indonesia dan diluar Indonesia.
a. Pengadilan Distrik Amerika Serikat telah memutuskan seorang
pemilik Internet Service Provider
(ISP) bersalah telah menggunakan kartu kredit secara illegal dengan hukuman
selama 18 bulan penjara. Dalam kasus ini yang bersangkutan dijatuhi hukuman karena dituduh telah terlibat dengan
suatu komplotan yang biasa melakukan kecurangan dan menggunakan kartu kredit
secara ilegal dalam bisnis Intenet
Service Provider (ISP)-nya dan diputuskan oleh hakim Distrik Stephen V.
Wilson, di Los Angeles pada tanggal 10 Juni 2001, bersalah. Kemudian, Yaegar
dianggap terkait dengan pencurian yang terjadi di Santa Clara Country dan pada
saat pemeriksaan, yang bersangkutan berada di Hollywood bagian barat. Selain
itu, Yaegar dinyatakan telah terlibat dalam penggunaan jaringan komunikasi
secara tidak sah pada tanggal 1 April 2002. Komplotan tersebut melakukan
penipuan dengan memanfaatkan jaringan priority web (milik Yaeger). Yaeger
terbukti telah menggunakan kartu kredit dan melakukan transaksi illegal hingga
mendekati US$ 210,000. Kasus ini ditangani langsung oleh FBI (Federal Bureau of Investigation) karena
transaksi yang terjadi secara luas (world
wide web) dan melibatkan beberapa institusi keuangan di Amerika serikat.
b. Kasus yang terjadi di Yogyakarta, telah terjadi
pembobolan kartu kredit empat warga asing yang dilakukan oleh warga Yogya.
Pemeriksaan yang dilakukan oleh Polda Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan
diketahui bahwa para pelakunya adalah mahasiswa. Tindakan pembobolan tersebut
menggunakan jasa warung internet (warnet) yang ada di Yogya. Mengenai nomor-nomor kartu kreditnya diperoleh dari
teman-temannya yang juga sering melakukan pembobolan.
c. Kasus yang terjadi di Bandung melibatkan tujuh orang
mahasiswa melakukan kejahatan dengan membobol karu kredit (carding) ratusan orang di macanegara melalui jaringan internet.
Barang bukti yang dapat diamankan terdiri atas uang bernilai ratusan juta
rupiah dari tangan para tersangka. Komplotan yang tertangkap telah melakukan
tindak kejahatankartu kredit (carding)
sedikitnya 221 kali. Menyikapi modus yang dilakukan oleh para tersangka, sebelumnya
membuka beberapa situs komersial melalui internet. Selanjutnya, melalui
situs-situs itu tersangka melihat-lihat barang yang akan dilelang bersama carder lainnya di luar negeri, dan
diakhiri dengan mencari nomor kartu kredit orang. Kartu kredit ini akan
digunakan untuk membeli barang yang akan dijual melalui situs tadi. Sebelum
menggunakan kartu kredit, tersangka terlebih dahulu melihat kemampuan keuangan
dari pemilik dana, dan setelah mendapat kepastian finansialnya, tersangka
segera memesan barang-barang tertentu dengan menggunakan kartu kredit milik
orang lain.
d. Perkara yang menjerat Seno Adjie dan Rudy Demsy atas
tindak pidana pencurian dan korupsi karena telah mentransfer secara tidak sah
dana Bank BNI dengan menggunakan perangkat komputer/internet. Kasusnya terjadi
tahun 1986 di Amerika Serikat, Seno Adjie dan Rudy Demsy telah memindahkan atau
mentransfer uang milik Bank BNI sebesar lebih dari US$ 18 juta, dimasukan ke
dalam beberapa rekening pribadi Seno Adjie dan Rudy Demsy di Panama. Kegiatan
transfer dana illegal tersebut dilakukan di sebuah kamar hotel di New York
dengan menggunakan perangkat komputer dan sebuah modem untuk menghubungkan
komputer tersebut dengan jaringan komputer Bank BNI. Perangkat komputer yang
digunakan adalah sebuah komputer pribadi bermerk Apple /I C dan Smart Modem
7200. Melalui Putusan Kasasi Mahkamah Agung. No. 1852 K/Pid/1988 tanggal 21
Desember 1988, Mahkamah Agung mempertimbangkan teknologi komputer/internet
sebagai media atau alat yang digunakan untuk melakukan kejahatan pencurian
uang. Akhirnya, pengadilan menghukum pelaku tindak pidana penyalahgunaan
komputer/internet sebagai telah melakukan tindak pidana korupsi ataupun
pencurian.
Berbagai cara dilakukan untuk mendapatkan data
kartu kredit, di antaranya dilakukan dcngan cara:
a. Chatting,
b. Bill atau tagihan katru kredit.
c.
Jebakan hadiah
d.
Mencuri data melalui telepon.
Sedangkan alur proses transaksi melalui kartu
kredit yang dapat dijadikan objek pelanggaran dalam kejahatan kartu kredit,
antara lain:
a. Source of applications,
b. Application processing,
c. Card embossing and delivery
(courier, recipient or customer)
d. Usage,
e. Payment to merchant,
5.1.3 Kejahatan Kartu
Kredit dalam Transaksi Maya (On Line)
Kejahatan kartu kredit dengan mempergunakan kemajuan di bidang teknologi
dikenal dengan istilah cyber crime.
Pengertian cyber crime pada awalnya
selalu mengalami perkembangan sejalan dengan perkembangan kejahatan di
internet, dimulai dari merusak, mencuri data dan program komputer sampai
termasuk berbagai kejahatan seperti forgery,
illegal gambling, dan cyberstalking.
Dalam Kongres Perserikatan Bangsa Bangsa X tentang The Preventioll of Crime and the Treatment
of Offenders di Vienna, 10-17 April 2000, memberi pengertian tentang cybercrime dalam dua kategori, yaitu:
a.
Cyber
crime in a narrow sense (computer crime): any illegal behavior directed by
means of electronic operations that targets the security of computer systems
and the data processed by them.
Artinya:
Cyber crime dalam pengertian sempit (kejahatan komputer): apapun perilaku yang
tidak sah yang diarahkan atas bantuan operasi elektronik dengan sasaran
keamanan sistem komputer dan data yang diprosesnya.
b.
Cyber
crime in a broader sense (computer related crime): any illegal behavior committed
by means of, or in relation to, a computer system or network, induding such
crimes as illegal possession and offering or distributing information by means
of a computer system or network.
Artinya:
Cyber
crime
dalam pengertian luas (kejahatan yang terkait dengan komputer): apapun perilaku
yang tidak sah yang dilakukan atas bantuan, atau dalam hubungan dengan suatu
sistem komputer atau jaringan, mencakup kejahatan pemilikan tidak sah dan
menawarkan atau membagi-bagikan informasi atas bantuan suatu sistem komputer
atau jaringan.
Berdasarkan pengertian di atas, computer
crime mencakup perbuatan ilegal terhadap sistem dan keamanan data (data security) dengan menggunakan sarana
elektronik. Sistem komputer (computer
system) dan keamanan data (data
security) meliputi 3 (tiga) masalah pokok, yaitu:
a. The assurance of confidentiality;
b. Integrity; dan
c. Availability of data and processing
functions.
Ketiga masalah pokok tersebut meliputi unauthorized access, damage to computer data or computer programs,
computer sabotage, unauthorized interception, dan computer espionage.
Sedangkan cyber crime merupakan
kejahatan yang dilakukan dengan media elektronik atau dilakukan sebagian atau
sepenuhnya dalam lingkungan elektronik.
Debra L. Shinder memberikan kategorisasi alas kejahalan-kejahatan
yang termasuk dalam cybercrime berdasarkan cara kejahatan dilakukan:
Pertama, dilakukan dengan
kekerasan (crimes committed by violent or
potentiality violent criminals) dan kedua,
dilakukan tanpa kekerasan (non violent
crimes).
Kejahatan-kejahatan
yang termasuk kategori pertama (crimes
committed by violent or potentialit}, violent criminals) antara lain:
a. Cyber terrorism
b. Assault by threat
c. Cyber stalking
d. Child pornography
Sedangkan kejahatan-kejahatan yang termasuk kategori ke dua (non violent crimes) antara lain:
a. Cyber trapass
b. Cyber theft
c. Cyber fraud
d. Destructive cybercrimes
e. Other cyber crimes, termasuk advertising/soliciting, prostitution
services over the internet, internet gambling, internet drug sales, cyber laundering
dan lain-lain.
Cyber
crime merupakan pola
kejahatan dengan memanfaatkan jaringan komputer global atau internet telah
menciptakan dunia baru yang dinamakan cyber
space. Cyber space merupakan sebuah dunia komunikasi berbasis komputer (computer mediated communication) dengan
menawarkan realitas baru, yaitu realitas virtual (virtual reality). Internet merupakan sarana untuk melakukan
kejahatan dengan menembus batas-batas yurisdiksi suatu negara dan dapat
dilakukan di rumah, ataupun tempat-tempat pelayanan publik, misalnya warung
internet dan sebagainya.
Pemanfaatan teknologi telekomunikasi dan komputer sebagai bentuk
komunikasi berbasis komputer (computer
mediated communication) meliputi jaringan komputer, electronic mail, Electronic Bulletin Board Service (BBS), dan pertemuan dengan menggunakan
komputer ini dalam menghubungkan komunikasi di antara mereka dinamakan Net. Penggunaan cyberspace dalam pola kejahatan cyber
crime memungkinkan kejahatan dilakukan tanpa mempermasalahkan jarak (distance), waktu (time) dan ruang (space).
5.2.
Penegakan Hukum Dalam Kejahatan Kartu
Kredit
5.2.1. Ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Sebagai Dasar Penerapan Kejahatan Kartu Kredit
Badan Pembinaan Hukum Nasional mencoba
mengidentifikasikan bentuk-bentuk kejahatan yang berkaitan dengan aktivitas di cyberspace termasuk di dalamnya
kejahatan kartu kredit dengan perundang-undangan pidana yang ada. Hasil
identifikasi itu berupa pengkategorian perbuatan kejahatan cyber (cyber crime) ke dalam delik-delik Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) sebagai berikut:
a. Joy computing, diartikan sebagai
perbuatan seseorang yang menggunakan komputer secara tidak sah atau tanpa izin
dan menggunakannya melampaui wewenang yang diberikan. Tindakan ini dapat
dikategorikan scbagai tindak pidana pencurian (Pasal 362 KUHP).
b. Hacking, diartikan sebagai suatu
perbuatan penyambungan dengan cara menambah terminal komputer baru pada sistem
jaringan komputer tanpa izin (dengan melawan hukum) dari pemilik sah jaringan
komputer tersebut. Tindakan ini dapat dikategorikan sebagai tindak pidana
perbuatan tanpa wewenang masuk dengan memaksa ke dalam rumah atau ruangan yang
tertutup atau pekarangan atau tanpa haknya berjalan di atas tanah milik orang
lain (Pasal 167 dan Pasal 551 KUHP).
c. The Trojan Horse,
diartikan sebagai suatu prosedur untuk menambah, mengurangi atau mengubah
instruksi pada sebuah program tersebut selain menjalankan tugas yang sebenarnya
juga akan melaksanakan tugas lain yang tidak sah. Tindakan ini dapat dikategorikan sebagai tindak
pidana penggelapan (Pasal 372 dan Pasal 374 KUHP).
Apabila kerugian yang ditimbulkan menyangkut
keuangan negara, tindakan ini dapat dikategorikan tindak pidana korupsi.
d. Data leakage, diartikan sebagai
pembocoran data rahasia yang dilakukan
dengan cara menulis data-data
rahasia tersebut ke dalam kode-kode tertentu sehingga data dapat dibawa ke luar
tanpa diketahui oleh pihak yang bertanggungjawab. Tindakan ini dapat
dikategorikan sebagai tindak pidana terhadap keamanan negara (Pasal 112, Pasal
113 dan Pasal114 KUHP) dan tindak pidana membuka rahasia perusahaan atau
kewajiban menyimpan rahasia profesi atau jabatan (Pasal 322 dan Pasal 323 KUHP).
e. Data
diddling, diartikan sebagai suatu perbuatan yang mengubah data valid
atau sah dengan cara tidak sah, yaitu dengan mengubah input data atau output
data. Tindakan ini dapat
dikategorikan sebagai tindak pidana pemalsuan surat (Pasal 263 KUHP).
f. Penyia-nyiaan data komputer, diartikan
sebagai suatu perbuatan yang dilakukan dengan suatu kesengajaan untuk merusak
atau menghancurkan media disket dan media penyimpanan sejenis lainnya yang
berisikan data atau program komputer, sehingga akibat perbuatan tersebut data
atau program yang dimaksud menjadi tidak berfungsi lagi dan pekerjaanpekerjaan
yang melalui program komputer tidak dapat dilaksanakan.
Tindakan ini dapat dikategorikan sebagai perusakan
barang (Pasal 406 KUHP)
Hal yang telah ditempuh oleh BPHN dalam
batas pemikiran untuk menanggulangi kekosongan hukum. Kesulitan masih tetap
dirasakan khususnya mengenai perbedaan konsep ruang dan waktu dari
perundang-undangan pidana dan sifat internet dalam penerapannya. Khusus bagi cyber crime berkaitan dengan kejahatan
kartu kredit, adalah masalah:
g. Carder, diartikan sebagai pengguna
kartu kredit tanpa hak. Untuk menjerat carder digunakan ketentuan Pasal 378 dan
Pasal 379a KUHP.
5.2.2. Pengaturan Kejahatan Kartu Kredit dalam
Undang-Undang Informasi dan Transaksi
Elektronik
Dalam UU tersebut terdapat 5 (lima) pasal
yang mengatur ketentuan pidana cyber crime,
yaitu Pasal 45 sampai dengan 52.
Pasal 45 (ayat1):
“setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat
(1), ayat (2), ayat (3) atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu
milyar rupiah)”
Pasal 45 (ayat2):
“setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat
(1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”
Pasal 45 (ayat 3) :
“Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29
dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah)”
Pasal 46 (ayat 1) :
“Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat
(1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah)”
Pasal 46 (ayat 2) :
“Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat
(2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp 700.000.000,00 (tujuh ratus juta rupiah)”
Pasal 46 (ayat 3) :
“Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat
(3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah)”
Pasal 47 :
“Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat
(1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah)”
Pasal 48 (ayat 1) :
“Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat
(1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah)”
Pasal 48 (ayat 2) :
“Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat
(2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)”
Pasal 48 (ayat 3) :
“Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat
(3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)”
Pasal 49 :
“Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah)”
Pasal 50 :
“Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat
(1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah)”
Pasal 51 (ayat 1) :
“Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35
dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp 12.000.000.000,00 (dua belas milyar rupiah)”
Pasal 35 mengatur mengenai larangan untuk
melakukan manipulasi, penciptaan, perubahan, penghilangan, pengrusakan
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dengan tujuan agar Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik tersebut dianggap seoleh-oleh data yang
otentik,
Pasal 51 (ayat 2) :
“Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36
dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp 12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah)”
Pasal 52 ayat (1)
Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1)
menyangkut kesusilaan atau eksploitasi seksual terhadap anak dikenakan
pemberatan sepertiga dari pidana pokok.
Pasal 52 ayat (2)
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 sampai dengan pasal
37 ditujukan terhadap Komputer dan/atau Sistem Elektronik serta Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik milik Pemerintah dan/atau yang digunakan
untuk layanan publik dipidana dengan pidana pokok ditambah sepertiga.
Pasal 52 ayat (3)
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 sampai dengan pasal
37 ditujukan terhadap Komputer dan/atau Sistem Elektronik serta Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik milik Pemerintah dan/atau badan
strategis termasuk dan tidak terbatas pada lembaga pertahanan, bank sentral,
perbankan, keuangan, lembaga internasional, otoritas penerbangan diancam dengan pidana maksimal ancaman pidana
pokok masing-masing pasal ditambah dua pertiga.
Pasal 52 ayat (4)
Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan
Pasal 37 dilakukan oleh korporasi dipidana dengan pidana pokok ditambah dua
pertiga.
Dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik,
kebijakan pengaturan kejahatan kartu kredit nampaknya belum jelas dan masih
ragu-ragu. Belum diperjelas secara spesifik tentang kejahatan kartu kredit,
sehingga pihak Kepolisian sebagai penyidik dan penyelidik mengalami kesulitan
dalam menjerat pelaku kejahatan kartu kredit dengan menggunakan pasal-pasal pada
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Akan tetapi pada pasal 5-22
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik tentang transaksi elektronik,
memungkinkan digunakan beban pembuktian pada dunia maya, yang pada metode
konvensional tidak dimungkinkan.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
a.
Kejahatan kartu
kredit adalah merupakan bagian dari kejahatan bisnis. Definisi kejahatan bisnis
adalah, pertama perbuatan tidak senonoh atau yang jahat terjadi dalam
lingkungan yang sah, dan kedua adalah lingkungan itu
menyediakan kejahatan bisnis dan ciri yang dapat dipertandingkan. Kejahatan
kartu kredit yang dilakukan carder
dapat dikategorikan kedalam dua bentuk yaitu transaksi konvensional atau
disebut off line dan dan transaksi
maya atau disebut on line.
b. Penegakan hukum dalam upaya menjerat pelaku kejahatan
kartu kredit, yaitu menerapkan Hukum positif di Indonesia yang kaitannya dengan
kejahatan kartu kredit adalah KUHP dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi
Elektronik. Penerapan Hukum Positif oleh
aparat hukum untuk menjerat pelaku kejahatan kartu kredit digunakan pasal–pasal
KUHP akan tetapi kesulitan dalam pembuktian menurut KUHP, akan tetapi dalam
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik dimungkinkan untuk pembuktian
menggunakan bukti digital.
Saran.
a. Perlunya
pengetahuan yang luas dan spesifik terutama tentang kejahatan kartu kredit,
dimana masih sedikit tinjauan pustaka yang mengulas tentang kejahatan kartu
kredit ini akan tetapi efek negatifnya yang disebabkan sudah sangat besar
sekali.
b. Penegakan
hukum dalam menjerat pelaku kejahatan kartu kredit, dengan penggunaan
pasal-pasal pada KUHP di mana hukuman pidana berupa penjara maupun denda dirasa
masih terlalu baik dibanding dengan hukuman pidana pada Undang-Undang
Informasi dan Transaksi Elektronik untuk
Cyber Crime, dimana pada
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik untuk Cyber
Crime belum diatur secara spesifik tentang kejahatan kartu kredit. Oleh
sebab itu diperlukan payung hukum yang spesialis untuk kejahatan karu kredit,
yang mana hukuman pidana baik penjaran dan/atau denda minimal sama
dengan penerapan hukuman pidana pada Undang-Undang Informasi dan
Transaksi Elektronik untuk Cyber Crime..
DAFTAR
PUSTAKA
Buku-buku :
Ade Ary, Carding (Kejahatan Kartu
Kredit), Pensil-324, Jakarta 2006
Adrianus Meliala, Menyikapi
Kejahatan Krah Putih, Pustaka Sinar Harapan,
Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 tentang KUHP ;
Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
;
Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia;
Undang-Undang No.
8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;