Jumat, 29 Maret 2013

carding


Carding adalah suatu bentuk kejahatan yang menggunakan kartu kredit orang lain untuk dibelanjakan tanpa sepengetahuan pemiliknya. Perkembangan kasus carding di Indonesia bergerak sangat cepat. Menurut hasil riset terkini yang dilakukan perusahaan sekuriti Clearcommerce yang berbasis di Texas, menyatakan bahwa Indonesia berada di urutan pertama negara asal pelaku cyber fraud. Ditambahkan pula, bahwa sekitar 20 % total transaksi kartu kredit dari Indonesia melalui internet adalah cyber fraud. Oleh sebab itu diperlukan pengetahuan yang cukup untuk mendalami permasalahan kejahatan kartu kredit ini bagi masyarakat serta penegakan hukum yang dilakukan oleh aparat hukum.
                         Kata kunci : Carding, Kartu Kredit, Internet, Cyber Fraud


PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perkembangan teknologi yang saat ini mempengaruhi kehidupan masyarakat global adalah teknologi informasi berupa internet. Internet pada mulanya hanya dikembangkan untuk kepentingan militer, riset dan pendidikan, terus berkembang memasuki seluruh aspek kehidupan umat manusia. Saat ini, internet membentuk masyarakat dengan kebudayaan baru. Masyarakat tak lagi dihalangi oleh batas-batas teritorial antara negara. Masyarakat baru dengan kebebasan beraktivitas dan berkreasi yang paling sempurna. Namun, di balik kegemerlapan itu internet juga melahirkan keresahan-keresahan baru, di antaranya muncul kejahatan yang lebih canggih dalam bentuk cyber crime.
Perkembangan teknologi informasi telah mengubah cara pandang sebagian pelaku ekonomi dalam beraktivitas, khususnya dalam dunia bisnis. Sistem teknologi informasi tidak hanya berfungsi sebagai sarana pendukung meningkatkan kinerja perusahaan, tetapi lebih jauh lagi telah menjadi senjata untuk mengambil keuntungan secara cepat dengan jalan ilegal, khususnya menggunakan internet.
Kejahatan menggunakan fasilitas internet berkembang pesat di Indonesia, sementara masih terdapat celah pada sistem hukum dan lemahnya sistem pengawasan atas kejahatan ini. Kejahatan tersebut, salah satunya adalah credit card fraudulent di internet atau lebih populer disebut carding. Carding adalah suatu bentuk kejahatan yang menggunakan kartu kredit orang lain untuk dibelanjakan tanpa sepengetahuan pemiliknya.
Perkembangan kasus carding di Indonesia bergerak sangat cepat. Bahkan dinyatakan bahwa Indonesia berada di urutan pertama negara asal pelaku Cyber fraud. Ditambahkan pula, bahwa sekitar 20 persen total transaksi kartu kredit dari Indonesia melalui internet adalah Cyber fraud.
Kejahatan carding ini murni kejahatan lintas-negara (trans-national crime). Saat penanganannya, timbul kesulitan ketika banyak warga negara asing yang menjadi korban carding harus datang ke Indonesia untuk melaporkan dan memberikan keterangan kejadian yang dialaminya. Kesulitan bagi pelapor warga negara asing ini karena ia harus mengeluarkan dana yang tidak sedikit untuk terus-menerus ke Indonesia berkaitan penyidikan kasusnya. Hal inilah, yang mengakibatkan banyaknya kasus-kasus carding terjadi.

RUMUSAN MASALAH
            Berdasarkan latar belakang yang sudah dijelaskan diatas, maka riset ini merumuskan permasalahan sebagai berikut :
  1. Bagaimana aspek hukum tentang kejahatan kartu kredit (carding)?
  2. Bagaimanakah penegakkan hukum terhadap kejahatan kartu kredit di Indonesia?

HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
5.1.      Aspek Hukum Kejahatan Kartu Kredit
5.1.1.      Kejahatan Kartu Kredit Adalah Kejahatan Bisnis Dalam Transaksi Konvensional dan Maya
Sudut pandang dalam mengkaji permasalahan dengan mengasumsikan adanya berbagai perubahan akibat dunia yang semakin global dan tanpa batas (globalized and borderless world) berarti tidak terpaut adanya jarak, ruang dan waktu, maka dapat dianggap pula semakin tidak terbatasnya kemungkinan perubahan dalam bidang teknologi, politik, ekonomi dan informasi-informasi lain.
Salah satunya, perkembangan teknologi dengan berbagai bentuk kecanggihan informasi, komunikasi dan transportasi membuat modus kejahatan semakin marak dilakukan oleh pelaku-pelaku kejahatan, di antaranya dengan menggunakan kartu kredit.
Modus dalam kejahatan kartu kredit merupakan salah satu bentuk kejahatan bisnis. Memahami makna dari kejahatan bisnis perlu kiranya untuk mencermati perkembangan yang terjadi dalam praktik bisnis dengan berbagai modus di antaranya adalah dalam bidang kompertisi yang dikenal dengan unfair competion berupa tindakan tying contract, exclusive dealing, price discrimination, price fixing, penggabungan perusahaan, false advertising (penipuan iklan) dan kejahatan lingkungan hidup (environmental crime).
Banyak faktor yang harus dipertimbangkan dalam membahas tentang kejahatan, sehingga menimbulkan berbagai perspektif yang berbeda. Kejahatan tidak dapat dibicarakan dengan memfokuskan pada 1 (satu) permasalahan saja yang menjadi sebabnya, karena kejahatan merupakan peristiwa yang mempunyai faktor multidimensi yang menjadi penyebabnya dan mempunyai pengertian yang relatif.
Berbicara mengenai kejahatan dan penjahat, saya berkesimpulan bahwa kejahatan mengandung konotasi tertentu, merupakan suatu pengertian dan penamaan yang relatif, mengandung variabilitas dan dinamika serta bertalian dengan perbuatan atau tingkah laku (baik aktif maupun pasif), yang dinilai oleh sebagian mayoritas atau minoritas masyarakat sebagai suatu perbuatan yang anti sosial, suatu perkosaan terhadap skala nilai sosial dan atau perasaan hukum yang hidup dalam masyarakat sesuai dengan ruang dan waktu."
  
Kejahatan merupakan perbuatan antisosial. tidak hanya terdapat pada masyarakat yang sedang berkembang, tetapi ada juga dalam masyarakat yang sudah maju (dengan peralatan teknologi yang lebih canggih). Kejahatan tidak hanya di dunia nyata (real), tetapi ada juga di dunia maya (virtual) dengan bentuk yang berbeda dengan wajah kejahatan yang konvensional karena telah diperhalus sedemikian rupa. Keberadaan suatu kejahatan identik dengan keberadaan manusia itu sendiri, meskipun ada kemungkinan bentuk atau tipe kejahatan dari tiap-tiap masyarakat berbeda.
Perluasan pengertian kejahatan bisnis merupakan suatu kebutuhan bagi praktik bisnis, sebagaimana diutarakan oleh Soedjono Dirdjosisworo, dalam meminimalisir berbagai modus kejahatan bisnis, pertama untuk memahami kejahatan bisnis dan tempat kecurangan serta tuntutan pidana lebih penuh, kedua membangun metode yang ditingkatan dan lembaga-lembaga untuk prevensi serta pengelolaannya.
Untuk memahami lebih lanjut tentang kejahatan bisnis, perlu mengetahui lebih lanjut tentang definisi dari kejahatan bisnis. Pertama adalah kelakuan tidak senonoh atau perbuatan jahat yang terjadi dalam lingkungan bisnis, dan kejahatan bisnis ini terjadi dalam kegiatan bisnis yang legal. Contoh yang dipaparkan oleh Soedjono Dirdjosisworo, salah satunya berupa penawaran kredit oleh pelaku bisnis terhadap perusahaan yang membutuhkan bantuan keuangan dan keuangan dan kemudian mengambil alih manajemen dari perusahaan tersebut. Yang menjadi persoalan dalam kejahatan bisnis adalah sejauh mana konteks bisnis ini menyusun peluang-peluang bagi perbuatan jahat dan bagaimana cara menangani perbuatan jahat dan tidak senonoh ini. Kedua, adalah disediakannya kesempatan legal untuk eksploitasi dan konsekuensi kunci pokok mengenai ini adalah dapat diperbandingkannya delik tersebut. Dua hal yang dapat disimpulkan untuk menarik definisi tentang kejahatan bisnis adalah, pertama perbuatan tidak senonoh atau yang jahat terjadi dalam lingkungan yang sah, dan kedua adalah lingkungan itu menyediakan kejahatan bisnis dan ciri yang dapat dipertandingkan.
Kejahatan bisnis yang semakin bersifat global, tetap dibatasi oleh hal-hal sebagai berikut :
Pertama, walaupun kejahatan berkembang semakin memancanegara, dan kompleks. tetapi sesungguhnya tetap memiliki unsur “otak kejahatan” atau disebut pula “actor intellectualis”.
Kedua, perihal perubahan makna modus operandi (cara) dan locus operandi (tempat) dan bahkan tempus operandi (saat), pada kejahatan yang sudah terpengaruh oleh iklim global. Makna dari cara, tempat dan saat kejahatan global dilangsungkan, telah amat berbeda dengan makna pada kejahatan konvensional biasa.
Ketiga, dalam alur terciptanya masalah sosial, kejahatan hampir selalu berada di titik ujung. Dengan kata lain, sebagian besar kejahatan, termasuk kejahatan kontemporer, lahir dari posisi sebagai resultan belaka yang akan hilang bila kasusnya berubah. Dimana-mana memang terdapat bukti mengenai hubungan antara peningkatan pendapatan dengan munculnya “zona ketidakstabilan masyarakat”, yang salah satu impulsnya adalah kejahatan.

5.1.2.      Kejahatan Kartu Kredit dalam Transaksi Konvensional (Off Line)
Sebelum memaparkan berbagai bentuk kejahatan kartu kredit, sebagai awal pembahasan dikemukakan terlebih dahulu berbagai kejahatan karu kredit yang terjadi di Indonesia dan diluar Indonesia.
a.       Pengadilan Distrik Amerika Serikat telah memutuskan seorang pemilik Internet Service Provider (ISP) bersalah telah menggunakan kartu kredit secara illegal dengan hukuman selama 18 bulan penjara. Dalam kasus ini yang bersangkutan dijatuhi hukuman karena dituduh telah terlibat dengan suatu komplotan yang biasa melakukan kecurangan dan menggunakan kartu kredit secara ilegal dalam bisnis Intenet Service Provider (ISP)-nya dan diputuskan oleh hakim Distrik Stephen V. Wilson, di Los Angeles pada tanggal 10 Juni 2001, bersalah. Kemudian, Yaegar dianggap terkait dengan pencurian yang terjadi di Santa Clara Country dan pada saat pemeriksaan, yang bersangkutan berada di Hollywood bagian barat. Selain itu, Yaegar dinyatakan telah terlibat dalam penggunaan jaringan komunikasi secara tidak sah pada tanggal 1 April 2002. Komplotan tersebut melakukan penipuan dengan memanfaatkan jaringan priority web (milik Yaeger). Yaeger terbukti telah menggunakan kartu kredit dan melakukan transaksi illegal hingga mendekati US$ 210,000. Kasus ini ditangani langsung oleh FBI (Federal Bureau of Investigation) karena transaksi yang terjadi secara luas (world wide web) dan melibatkan beberapa institusi keuangan di Amerika serikat.
b.      Kasus yang terjadi di Yogyakarta, telah terjadi pembobolan kartu kredit empat warga asing yang dilakukan oleh warga Yogya. Pemeriksaan yang dilakukan oleh Polda Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan diketahui bahwa para pelakunya adalah mahasiswa. Tindakan pembobolan tersebut menggunakan jasa warung internet (warnet) yang ada di Yogya. Mengenai nomor-nomor kartu kreditnya diperoleh dari teman-temannya yang juga sering melakukan pembobolan.
c.       Kasus yang terjadi di Bandung melibatkan tujuh orang mahasiswa melakukan kejahatan dengan membobol karu kredit (carding) ratusan orang di macanegara melalui jaringan internet. Barang bukti yang dapat diamankan terdiri atas uang bernilai ratusan juta rupiah dari tangan para tersangka. Komplotan yang tertangkap telah melakukan tindak kejahatankartu kredit (carding) sedikitnya 221 kali. Menyikapi modus yang dilakukan oleh para tersangka, sebelumnya membuka beberapa situs komersial melalui internet. Selanjutnya, melalui situs-situs itu tersangka melihat-lihat barang yang akan dilelang bersama carder lainnya di luar negeri, dan diakhiri dengan mencari nomor kartu kredit orang. Kartu kredit ini akan digunakan untuk membeli barang yang akan dijual melalui situs tadi. Sebelum menggunakan kartu kredit, tersangka terlebih dahulu melihat kemampuan keuangan dari pemilik dana, dan setelah mendapat kepastian finansialnya, tersangka segera memesan barang-barang tertentu dengan menggunakan kartu kredit milik orang lain.
d.      Perkara yang menjerat Seno Adjie dan Rudy Demsy atas tindak pidana pencurian dan korupsi karena telah mentransfer secara tidak sah dana Bank BNI dengan menggunakan perangkat komputer/internet. Kasusnya terjadi tahun 1986 di Amerika Serikat, Seno Adjie dan Rudy Demsy telah memindahkan atau mentransfer uang milik Bank BNI sebesar lebih dari US$ 18 juta, dimasukan ke dalam beberapa rekening pribadi Seno Adjie dan Rudy Demsy di Panama. Kegiatan transfer dana illegal tersebut dilakukan di sebuah kamar hotel di New York dengan menggunakan perangkat komputer dan sebuah modem untuk menghubungkan komputer tersebut dengan jaringan komputer Bank BNI. Perangkat komputer yang digunakan adalah sebuah komputer pribadi bermerk Apple /I C dan Smart Modem 7200. Melalui Putusan Kasasi Mahkamah Agung. No. 1852 K/Pid/1988 tanggal 21 Desember 1988, Mahkamah Agung mempertimbangkan teknologi komputer/internet sebagai media atau alat yang digunakan untuk melakukan kejahatan pencurian uang. Akhirnya, pengadilan menghukum pelaku tindak pidana penyalahgunaan komputer/internet sebagai telah melakukan tindak pidana korupsi ataupun pencurian.
Berbagai cara dilakukan untuk mendapatkan data kartu kredit, di antaranya dilakukan dcngan cara:
a. Chatting,
b. Bill atau tagihan katru kredit.
c. Jebakan hadiah
d. Mencuri data melalui telepon.

Sedangkan alur proses transaksi melalui kartu kredit yang dapat dijadikan objek pelanggaran dalam kejahatan kartu kredit, antara lain:
a. Source of applications,
b. Application processing,
c. Card embossing and delivery (courier, recipient or customer)
d. Usage,
e. Payment to merchant,




5.1.3 Kejahatan Kartu Kredit dalam Transaksi Maya (On Line)
Kejahatan kartu kredit dengan mempergunakan kemajuan di bidang teknologi dikenal dengan istilah cyber crime. Pengertian cyber crime pada awalnya selalu mengalami perkembangan sejalan dengan perkembangan kejahatan di internet, dimulai dari merusak, mencuri data dan program komputer sampai termasuk berbagai kejahatan seperti forgery, illegal gambling, dan cyberstalking.
Dalam Kongres Perserikatan Bangsa Bangsa X tentang The Preventioll of Crime and the Treatment of Offenders di Vienna, 10-17 April 2000, memberi pengertian tentang cybercrime dalam dua kategori, yaitu:
a.       Cyber crime in a narrow sense (computer crime): any illegal behavior directed by means of electronic operations that targets the security of computer systems and the data processed by them.
       Artinya:
Cyber crime dalam pengertian sempit (kejahatan komputer): apapun perilaku yang tidak sah yang diarahkan atas bantuan operasi elektronik dengan sasaran keamanan sistem komputer dan data yang diprosesnya.
b.      Cyber crime in a broader sense (computer related crime): any illegal behavior committed by means of, or in relation to, a computer system or network, induding such crimes as illegal possession and offering or distributing information by means of a computer system or network.
Artinya:
Cyber crime dalam pengertian luas (kejahatan yang terkait dengan komputer): apapun perilaku yang tidak sah yang dilakukan atas bantuan, atau dalam hubungan dengan suatu sistem komputer atau jaringan, mencakup kejahatan pemilikan tidak sah dan menawarkan atau membagi-bagikan informasi atas bantuan suatu sistem komputer atau jaringan.
Berdasarkan pengertian di atas, computer crime mencakup perbuatan ilegal terhadap sistem dan keamanan data (data security) dengan menggunakan sarana elektronik. Sistem komputer (computer system) dan keamanan data (data security) meliputi 3 (tiga) masalah pokok, yaitu:
a. The assurance of confidentiality;
b. Integrity; dan
c. Availability of data and processing functions.
Ketiga masalah pokok tersebut meliputi unauthorized access, damage to computer data or computer programs, computer sabotage, unauthorized interception, dan computer espionage. Sedangkan cyber crime merupakan kejahatan yang dilakukan dengan media elektronik atau dilakukan sebagian atau sepenuhnya dalam lingkungan elektronik.
Debra L. Shinder memberikan kategorisasi alas kejahalan-kejahatan yang termasuk dalam cybercrime berdasarkan cara kejahatan dilakukan:
Pertama, dilakukan dengan kekerasan (crimes committed by violent or potentiality violent criminals) dan kedua, dilakukan tanpa kekerasan (non violent crimes).
Kejahatan-kejahatan yang termasuk kategori pertama (crimes committed by violent or potentialit}, violent criminals) antara lain:

a. Cyber terrorism
b. Assault by threat
c. Cyber stalking
d. Child pornography
Sedangkan kejahatan-kejahatan yang termasuk kategori ke dua (non violent crimes) antara lain:
a. Cyber trapass
b. Cyber theft
c. Cyber fraud
d. Destructive cybercrimes
e. Other cyber crimes, termasuk advertising/soliciting, prostitution services over the internet, internet gambling, internet drug sales, cyber laundering dan lain-lain.

Cyber crime merupakan pola kejahatan dengan memanfaatkan jaringan komputer global atau internet telah menciptakan dunia baru yang dinamakan cyber space. Cyber space merupakan sebuah dunia komunikasi berbasis komputer (computer mediated communication) dengan menawarkan realitas baru, yaitu realitas virtual (virtual reality). Internet merupakan sarana untuk melakukan kejahatan dengan menembus batas-batas yurisdiksi suatu negara dan dapat dilakukan di rumah, ataupun tempat-tempat pelayanan publik, misalnya warung internet dan sebagainya.
Pemanfaatan teknologi telekomunikasi dan komputer sebagai bentuk komunikasi berbasis komputer (computer mediated communication) meliputi jaringan komputer, electronic mail, Electronic Bulletin Board Service (BBS), dan pertemuan dengan menggunakan komputer ini dalam menghubungkan komunikasi di antara mereka dinamakan Net. Penggunaan cyberspace dalam pola kejahatan cyber crime memungkinkan kejahatan dilakukan tanpa mempermasalahkan jarak (distance), waktu (time) dan ruang (space).

5.2.            Penegakan Hukum Dalam Kejahatan Kartu Kredit
5.2.1.      Ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Sebagai Dasar Penerapan Kejahatan Kartu Kredit
Badan Pembinaan Hukum Nasional mencoba mengidentifikasikan bentuk-bentuk kejahatan yang berkaitan dengan aktivitas di cyberspace termasuk di dalamnya kejahatan kartu kredit dengan perundang-undangan pidana yang ada. Hasil identifikasi itu berupa pengkategorian perbuatan kejahatan cyber (cyber crime) ke dalam delik-delik Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai berikut:
a.    Joy computing, diartikan sebagai perbuatan seseorang yang menggunakan komputer secara tidak sah atau tanpa izin dan menggunakannya melampaui wewenang yang diberikan. Tindakan ini dapat dikategorikan scbagai tindak pidana pencurian (Pasal 362 KUHP).
b.    Hacking, diartikan sebagai suatu perbuatan penyambungan dengan cara menambah terminal komputer baru pada sistem jaringan komputer tanpa izin (dengan melawan hukum) dari pemilik sah jaringan komputer tersebut. Tindakan ini dapat dikategorikan sebagai tindak pidana perbuatan tanpa wewenang masuk dengan memaksa ke dalam rumah atau ruangan yang tertutup atau pekarangan atau tanpa haknya berjalan di atas tanah milik orang lain (Pasal 167 dan Pasal 551 KUHP).
c. The Trojan Horse, diartikan sebagai suatu prosedur untuk menambah, mengurangi atau mengubah instruksi pada sebuah program tersebut selain menjalankan tugas yang sebenarnya juga akan melaksanakan tugas lain yang tidak sah. Tindakan ini dapat dikategorikan sebagai tindak pidana penggelapan (Pasal 372 dan Pasal 374 KUHP).
Apabila kerugian yang ditimbulkan menyangkut keuangan negara, tindakan ini dapat dikategorikan tindak pidana korupsi.
d.    Data leakage, diartikan sebagai pembocoran data rahasia yang dilakukan dengan cara menulis data-data rahasia tersebut ke dalam kode-kode tertentu sehingga data dapat dibawa ke luar tanpa diketahui oleh pihak yang bertanggungjawab. Tindakan ini dapat dikategorikan sebagai tindak pidana terhadap keamanan negara (Pasal 112, Pasal 113 dan Pasal114 KUHP) dan tindak pidana membuka rahasia perusahaan atau kewajiban menyimpan rahasia profesi atau jabatan (Pasal 322 dan Pasal 323 KUHP).
e.    Data diddling, diartikan sebagai suatu perbuatan yang mengubah data valid atau sah dengan cara tidak sah, yaitu dengan mengubah input data atau output data. Tindakan ini dapat dikategorikan sebagai tindak pidana pemalsuan surat (Pasal 263 KUHP).
f.     Penyia-nyiaan data komputer, diartikan sebagai suatu perbuatan yang dilakukan dengan suatu kesengajaan untuk merusak atau menghancurkan media disket dan media penyimpanan sejenis lainnya yang berisikan data atau program komputer, sehingga akibat perbuatan tersebut data atau program yang dimaksud menjadi tidak berfungsi lagi dan pekerjaanpekerjaan yang melalui program komputer tidak dapat dilaksanakan.
Tindakan ini dapat dikategorikan sebagai perusakan barang (Pasal 406 KUHP)
       Hal yang telah ditempuh oleh BPHN dalam batas pemikiran untuk menanggulangi kekosongan hukum. Kesulitan masih tetap dirasakan khususnya mengenai perbedaan konsep ruang dan waktu dari perundang-undangan pidana dan sifat internet dalam penerapannya. Khusus bagi cyber crime berkaitan dengan kejahatan kartu kredit, adalah masalah:
g.    Carder, diartikan sebagai pengguna kartu kredit tanpa hak. Untuk menjerat carder digunakan ketentuan Pasal 378 dan Pasal 379a KUHP.

5.2.2.      Pengaturan Kejahatan Kartu Kredit dalam Undang-Undang  Informasi dan Transaksi Elektronik
Dalam UU tersebut terdapat 5 (lima) pasal yang mengatur ketentuan pidana cyber crime, yaitu Pasal 45 sampai dengan 52.


Pasal 45 (ayat1):
“setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3) atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”

Pasal 45 (ayat2):
“setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”

Pasal 45 (ayat 3) :
“Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah)”


Pasal 46 (ayat 1) :
“Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah)”

Pasal 46 (ayat 2) :
“Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 700.000.000,00 (tujuh ratus juta rupiah)”

Pasal 46 (ayat 3) :
“Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah)”

Pasal 47 :
“Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah)”

Pasal 48 (ayat 1) :
“Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah)”

Pasal 48 (ayat 2) :
“Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)”

Pasal 48 (ayat 3) :
“Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)”

Pasal 49 :
“Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah)”
Pasal 50 :
“Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah)”



Pasal 51 (ayat 1) :
“Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 12.000.000.000,00 (dua belas milyar rupiah)”
Pasal 35 mengatur mengenai larangan untuk melakukan manipulasi, penciptaan, perubahan, penghilangan, pengrusakan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dengan tujuan agar Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik tersebut dianggap seoleh-oleh data yang otentik,

Pasal 51 (ayat 2) :
“Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah)”

Pasal 52 ayat (1)
Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) menyangkut kesusilaan atau eksploitasi seksual terhadap anak dikenakan pemberatan sepertiga dari pidana pokok.

Pasal 52 ayat (2)
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 sampai dengan pasal 37 ditujukan terhadap Komputer dan/atau Sistem Elektronik serta Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik milik Pemerintah dan/atau yang digunakan untuk layanan publik dipidana dengan pidana pokok ditambah sepertiga.

Pasal 52 ayat (3)
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 sampai dengan pasal 37 ditujukan terhadap Komputer dan/atau Sistem Elektronik serta Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik milik Pemerintah dan/atau badan strategis termasuk dan tidak terbatas pada lembaga pertahanan, bank sentral, perbankan, keuangan, lembaga internasional, otoritas penerbangan  diancam dengan pidana maksimal ancaman pidana pokok masing-masing pasal ditambah dua pertiga.

Pasal 52 ayat (4)
Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 37 dilakukan oleh korporasi dipidana dengan pidana pokok ditambah dua pertiga.
Dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik, kebijakan pengaturan kejahatan kartu kredit nampaknya belum jelas dan masih ragu-ragu. Belum diperjelas secara spesifik tentang kejahatan kartu kredit, sehingga pihak Kepolisian sebagai penyidik dan penyelidik mengalami kesulitan dalam menjerat pelaku kejahatan kartu kredit dengan menggunakan pasal-pasal pada Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Akan tetapi pada pasal 5-22 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik tentang transaksi elektronik, memungkinkan digunakan beban pembuktian pada dunia maya, yang pada metode konvensional tidak dimungkinkan.

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
a.                   Kejahatan kartu kredit adalah merupakan bagian dari kejahatan bisnis. Definisi kejahatan bisnis adalah, pertama perbuatan tidak senonoh atau yang jahat terjadi dalam lingkungan yang sah, dan kedua adalah lingkungan itu menyediakan kejahatan bisnis dan ciri yang dapat dipertandingkan. Kejahatan kartu kredit yang dilakukan carder dapat dikategorikan kedalam dua bentuk yaitu transaksi konvensional atau disebut off line dan dan transaksi maya atau disebut on line.
b.      Penegakan hukum dalam upaya menjerat pelaku kejahatan kartu kredit, yaitu menerapkan Hukum positif di Indonesia yang kaitannya dengan kejahatan kartu kredit adalah KUHP dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.  Penerapan Hukum Positif oleh aparat hukum untuk menjerat pelaku kejahatan kartu kredit digunakan pasal–pasal KUHP akan tetapi kesulitan dalam pembuktian menurut KUHP, akan tetapi dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik dimungkinkan untuk pembuktian menggunakan bukti digital.
Saran.
a.       Perlunya pengetahuan yang luas dan spesifik terutama tentang kejahatan kartu kredit, dimana masih sedikit tinjauan pustaka yang mengulas tentang kejahatan kartu kredit ini akan tetapi efek negatifnya yang disebabkan sudah sangat besar sekali.
b.      Penegakan hukum dalam menjerat pelaku kejahatan kartu kredit, dengan penggunaan pasal-pasal pada KUHP di mana hukuman pidana berupa penjara maupun denda dirasa masih terlalu baik dibanding dengan hukuman pidana pada Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik  untuk Cyber Crime, dimana pada Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik  untuk Cyber Crime belum diatur secara spesifik tentang kejahatan kartu kredit. Oleh sebab itu diperlukan payung hukum yang spesialis untuk kejahatan karu kredit, yang mana hukuman pidana baik penjaran dan/atau denda minimal sama dengan penerapan hukuman pidana pada Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik  untuk Cyber Crime..






























DAFTAR  PUSTAKA

Buku-buku :
Ade Ary, Carding (Kejahatan Kartu Kredit), Pensil-324, Jakarta 2006
Adrianus Meliala, Menyikapi Kejahatan Krah Putih, Pustaka Sinar Harapan,
Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 tentang KUHP ;
Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ;
Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia;
Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;